Ibu pada One Litre of Tears
Pernah nonton film Litre of Tears kan ya? Film yang super
melo yang bikin nangis ngk berhenti-berhenti. Diputer entah dari jaman kapan,
juga pernah diadaptasi di Indonesia lewat sinetron Buku Harian Nayla.
Well. Film itu emang keren. Ngk ada nuansa religinya tapi
yang terbangun adalah nafas religi yang menurut saya –sangat kuat-. Tiap-tiap
kita dengan mudah bisa mengambil pelajaran, entah dari sisi persahabatan si
tokoh utama dengan teman-temannya, relationship between si Aya sama si Ashou
Haruto, atau keluarga besar Aya maupun si Haruto.
Disini, saya justru ingin cerita tentang sosok si Ibu,
Ikeuchi san. Sepanjang film ini saya tonton, yang cukup menyita perhatian dari
segenap tindak tanduk tokohnya ya si Ibu ini, terlebih pada fragmen dimana Aya
mau dimasukin ke dissability school karna sudah cukup merepotkan teman2 dan
stakholder sekolahnya. Aya yang awalnya bersikeras menolak, tetiba dengan tulus
ikhlas dan tanpa paksaan menyatakan siap dirinya pergi ke sekolah yang awalnya
tak bisa dibayangkan oleh dirinya yang memang bejibun prestasi (jika dalam
kondisi normal) dengan mudah bisa diraihnya.
Sang Ibu, saat penyakit si Aya sudah cukup mengkhawatirkan,
beliau survey ke dissability school, dan memang tempat ini adalah tempat yang
tepat untuk si Aya dengan kondisi tubuhnya yang kian memburuk. Awalnya
ditawarkan langsung pada si Aya, dan sontak penolakan keras langsung
disampaikan oleh gadis mungil yang menginap anomali di otaknya ini. si Ibu pun
memilih diam. Dan memilih untuk siap menjaga Aya dengan keputusan akan berhenti
dari pekerjaan sehari-harinya, konsultan gizi.
Selang sekian waktu, memang,
kondisi sekolah si Aya dan teman-temannya membuatnya akhirnya tersadar, bahwa
sekolah normal memang bukan lagi tempatnya, hingga pada akhirnya, kata-kata tulus
diiring senyum keluar darinya “aku sangat mencintai keluarga ini, dan karena
semua ada disini, maka tak apalah aku pergi. Aku mau masuk dissability school
itu,..” dan menangislah sang Ibu dan bapaknya berikut adik-adiknya dicekam
haru.
Enough.
Ya begitulah kira-kira potongan film yang cukup membuat saya
belajar. Saya menuliskan ini, terkait erat dengan dua hari pembelajaran yang
saya alami-lagi-lagi bersama teman-teman di kampus. Tentang kesadaran, dan
bagaimana tentang cara seorang ibu belajar bagaimana bahwa –lagi-lagi, ada yang
disebut kemerdekaan anak- yang tak bisa dipaksakan.
Mungkin bisa, bagi si ibu, memaksa seketika kepada Aya untuk
masuk dissability school setelah beliau survey dan memaparkan sekian fakta dan
bukti hasil beliau survey kepada anaknya. Dan dengan kuasa bahwa “Aku ibumu”
dengan mudah memaksa si Aya untuk mau ngk mau, suka tak suka masuk dissability
school. But she didn’t. Sang ibu tidak melakukan itu. Ia, meskipun tahu
prosesnya berat, meskipun tahu bagaimana orang-orang sekitaran mengatakan dia
apa, walaupun tahu secara psikologis sang Anak pun berat, mencoba mengambil
jarak, menarik ulur waktu, mengambil tindakan-tindakan atas
kemungkinan-kemungkinan penjagaan yang bisa lebih bisa dilakukan, hingga
akhirnya kesadaran penuh dari lisan sang anak yang keluar. Mengamini argumen
ibunya, dengan tulus hati dan sukarela,, sang Ibu pun, tak jumawa bahwa idenya
berhasil menaklukan anaknya.
Ah lihatlah, damainya kehidupan yang dijalani dengan tulus
dan penuh bunga-bunga itu.
Etapi.. kita hidup bukan di dunia drama, bukan pula di dunia
novel. Tapi entah kenapa saya merasa pelajaran ini sangat rasional untuk
diterapkan.
Dulu, dulu sekali, saya pernah memaksakan kehendak pada
seseorang yang saya rasa dia sudah cukup paham untuk menerima suatu paksaan.
Oke. Dia menerima, tapi lihatlah selanjutnya, apakah dia menerima dengan tulus
ikhlas dan menitinya dengan hati riang..? ah saya rasa itu pengalaman berharga
yang membuat saya harus lebih berhati-hati.
Tidak boleh ada pemaksaan dalam hal apapun. Karna sejatinya
tiap-tiap jiwa merdeka. Pun, jika akhirnya memang –atas nama penataan- kita
–terpaksa- harus mengatur, ternyata ada seni yang membuat orang pun menerima
dengan sukacita dan bahagia, atau bahkan memang itu lahir murni dari
kesadarannya. Dan kita? Saya rasa hanya outer person alias external factor
–yang ditakdirkan- berdekatan dengannya.
Kelak - karna saya
wanita- bagaimanakan saya bisa membangun kesadaran kebaikan tumbuh di hati
anak-anak dalam tingkah laku mereka? Mereka berbuat baik dan –berada di jalan
kebaikan, jalan perjuangan- adalah tanpa paksaan, tapi sepenuh sadar bahwa
inilah pilihan terbaiknya. Atau, jangan-jangan saya justru jadi –sebagaimana wanita
pada umumnya hari ini- menuntut dimengerti dan beranggapan bahwa anak adalah
aset yang harus ditumbuhkan sesuai ambisi orang tua? Ah, na’udzubillah.
*selamat belajar ~
dan teruslah mari kita belajar
Dan biarkan kuncup itu tumbuh, dan tiba saatnya mekar jadi
bunga
Kamis, 26122013
16:63
Di tulis di Masjid Nurul Islam, Kadirojo Purwomartani Kalasan
Comments
Post a Comment