Bahasa
Dalam keberagaman yang begitu rupa, perlu adanya sarana
untuk dapat memberikan pemahaman satu sama lain (A.F Aryanto)
Tersampaikan melalui kata, dimanapun, bahasa memiliki maksud
yang sama. Berkomunikasi, menyampaikan, menghubungkan dan membentuk makna
menjadi pemahaman yang tentu saja memperkaya masing-masing.
Tidak hanya lewat kata. Justru yang tidak terungkapkan
seringkali memiliki makna yang lebih indah. Berjuta keramahan yang cukup
diwakilkan dengan segurat senyum, tawa yang bisa menggambarkan luapan
kegembiraan, juga tangis yang menunjukkan kesedihan atau kebahagiaan yang
begitu dalam.
Dengan cara itu pula sang pencipta membahasakan kebesaranNya
melalui kitab yang ditujukan kepasa setiap jiwa yang berjalan di muka bumi. Lewat
untaian kata-kata, Dia lukiskan kekuasaan yang mampu menjangkau hingga tepian terjauh
alam raya. Dia menjalin interaksi dengan makhluk untuk memberi pemahaman akan
makna yang harus ditemukan dalam anugerah kehidupan yang telah diberikan.
Makna ini, juga disampaikan di luasnya laut biru, berhias
buih ombak yang menghempas kokohnya karang. Ia juga tersiar hingga kedalaman
hutan dengan pohon-pohon tinggi menjulang yang enggan dibelah cahaya mentari,
di kegelapan sudut angkasa tanpa batas dalam kerjap bintang gemintang yang
sunyi, melalui tanah longsor, gempa, dan banjir yang menebarkan ketakutan pada
manusia.
Dia juga mengabarkan dalam setiap tetes kecil embun yang
terjatuh ke dalam tanah lembab berselimut guguran daun, dalam kepak sayap kecil
serangga, terbang, berdzikir mensyukuri limpahan karunia.
Dalam setiap nafas, tak pernah Dia biarkan setiap raga
terlepas dari bahasaNya, dari sentuhan kalimatNya. Kekuatan bahasa MahaDahsyat
dariNya mampu menggerakkan tiap jiwa untuk bersatu mengagungkan namaNya.
(“Bahasa” Awaludin F Aryanto, Pengajar muda Indonesia
Mengajar, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat)
Dalam sebuah majalah, saya temukan penggalan artikel di
atas. Soal bahasa.
Ah iya, kenapa dulu pemuda 1928 akhirnya mengazamkan satu
bahasa untuk satu Indonesia? Rupa-rupanya, disanalah letak simpul penyelesaian
persoalan bangsa. Ketika kesadaran bangkit bergerak (?) era itu tumbuh, mereka
menemukan satu titik kelemahan yang harus diselesaikan, yaitu soal beragamnya
bahasa yang membentang dari sabang sampai merauke. Perbedaan bahasa, tentu
menyulitkan ketika pasukan republik (yang berjumlah sangat kecil dibanding penjajah)
berusaha membangun aliansi dengan laskar-laskar perjuangan yang ada di daerah
lain. Dan kenyataan, ketika Sumpah Pemuda menisbatkan bahasa Indonesia menjadi
bahasa satu untuk Indonesia maka dengan bahasa inilah satu persatu
daerah-daerah jajahan terbebas dari Belanda.
Soal bahasa.
Teramat sering dan teramat banyak, konflik dari yang sangat
kecil dan sangat remeh sampai ke konflik yang akhirnya mengalirkan darah,
berawal dari bahasa. Oleh petutur, maupun penangkapan mitra tutur.
Sekali lagi, bahasa adalah sarana untuk memahamkan maksud di
tengah ragam informasi yang tersaji melimpah ruah di depan kita.
Bahasa adalah sarana persatuan, penyelesai konflik, maka
berbahasalah yang bisa dipahami lawan tutur yang dimaksud.
Bahasa adalah pembentukan makna, yang akan melegakan satu
dan yang lainnya, atas persoalan yang sedang dihadapi.
Dan lagi, berbahasa dengan bahasa yang bisa sama-sama
dimengerti. Oleh mitra tutur yang kita ingin mendapatkan pemahaman atasnya.
Maka benar, akan banyak hal-hal rumit yang bisa
diselesaikan, pertama-tama tentu saja dengan bahasa.
Akan bangkit berbagai keterpurukan, saat kita tepat dalam
berbahasa.
Ah Iya, Rosul jauh-jauh telah menengarai : Berbahasalah
sesuai bahasa kaumnya.
Terlebih saat bicara konflik, penyelesaian, dan
kebangkitan-kebangkitan. Berbahasalah, pakailah bahasa, untuk penyelesaian al-hal rasional ini.
....
Tapi kemudian, kita sadar, rasio akan jatuh pada
keterbatasan, maka bolehlah sedikit pakai perasaan : dengan bahasa-bahasa yang
tak perlu diungkap gamblang, seperti diungkap Aryanto di petikan artikel di
atas)
Saya rasa, batasan rasional dan boleh pakai perasaan, kita
bisa menakar mana yang paling tepat kita gunakan. Pakai asas adil, tentu saja.
Comments
Post a Comment