The Invisible Barriers

(copas dari karasetra.wordpress.com)

Pertama : Bangga jadi Indonesia - Percaya Diri menjadi Indonesia, yg lain..baru..

Di Kangnam yang mewah, Jantung Ibu Kota Seoul yang sibuk, sebuah dealer (penjual) mobil Ford yang kesepian memasang gambar aneh untuk para pembelanja yang jarang sekali menoleh pada tempat itu. Di dalam ruang pajangan yang sangat sepi, sebuah pameran bebunga dan pita-pita jingga memamerkan LS Lincoln hijau sebagai mobil pilihan untuk—bintang film? Pemain sepakbola? Bukan, tapi untuk para menteri negara. Jeon Kyeong Seob, sang penjual, berkata bahwa gagasan ini adalah untuk meyakinkan para konsumen bahwa mereka tidak akan lagi dihukum karena membeli mobil-mobil buatan asing. Gambar itu tidak bekerja cukup baik. Tempat ini adalah ruang pajangan utama milik Ford di Korea Selatan, dan ia hanya menjual 100 mobil sepanjang tahun ini (2000-2001). Kenapa? “Patriotisme,” kata Jeon sembari menatap jalanan yang berisi mobil-mobil Korea buatan Hyundai, Kia atau Darwoo. “Orang-orang Korea itu patriotik.”
Kekuatan globalisasi yang tak bisa ditawar-tawar tak bisa mengubah hal itu. Setelah bertahun-tahun mendapat tekanan dari orang-orang Amerika, Eropa dan Jepang, Korea Selatan memangkas tarif, pajak, aturan dan regulasi, menjadi salah satu pasar mobil yang paling terbuka di dunia—setidaknya di atas kertas. Meski begitu, orang-orang Korea Selatan jarang sekali yang membeli mobil buatan asing. Otoritas pemasaran gabungan dari penjual-penjual mobil besar di dunia telah melakukan persuasi kepada orang-orang Korea Selatan agar membeli 4400 mobil impor tahun lalu—cuma 0,4 prosen dari total penjualan. Pekan lalu, seorang delegasi perdagangan Amerika Serikat yang berkunjung ke situ bahkan meminta low barriers. Para importir lokal hanya bisa menghela nafas. Mereka bilang tidak ada pengumuman resmi dari Seoul yang bisa menggagalkan dorongan pemerintah, perusahaan dan serikat bisnis yang berlangsung selama berdekade-dekade lalu agar membeli barang-barang buatan Korea. “Mudah sekali mengubah regulasi dan sistem perpajakan,” kata Son Eul Rae, seorang dealer Mercedes yang mengepalai sebuah asosiasi importir mobil. “Tapi mengubah budaya atau mind set tidaklah mudah.”
Budaya ini dibangun berdasarkan amarah. Setelah berdekade-dekade pendudukan Jepang yang berakhir saat kekalahan Jepang di PD II, Korea Selatan melaju untuk memenangkan tempat terhormat di dunia. “Pembangunan Bangsa melalui Ekspor,” teriakan Presiden Park Chung Hee di awal 1960-an yang membangkitkan kekuatan baru, menghiasi dinding-dinding pabrik di seluruh negeri. Para pembeli impor kemegahan dicela secara publik sebagai pengkhianat. Hingga 1980-an, merokok sigaret buatan asing adalah kejahatan yang bisa dihukum penjara. Tapi tak ada barang mewah yang punya kekuatan lebih besar sebagai simbol patriotik ketimbang mobil.
Itu benar adanya. Kampanye membeli barang-barang buatan Korea membuka jalan kepada bias Konfusian terhadap sikap pamer-pamer kekayaan. Selama krisis finansial Asia 1997, para pegawai di Seoul menyalahkan spekulasi mata uang mereka berdasarkan pembelian secara boros terhadap barang-barang buatan asing. Masalah riilnya adalah bahwa para konsumen dalam negeri takut untuk membeli apapun. Tapi laporan berita TV mengenai krisis itu terus-terusan mempertontonkan panjangnya ruang-ruang penjualan mobil buatan asing. Kelompok sipil vigilante mengambil alih penyebabnya, membocorkan ban-ban dan membuat gambar tentang kerja di mobil buatan asing yang sepi di Seoul. “Saya mendengar banyak tentang cacian terhadap mobil-mobil impor atau para pengendaranya,” kata seorang pemilik restoran berusia 41 tahun yang hanya membayar keamanan untuk memarkir BMW birunya. “Saya benar-benar ragu untuk membeli mobil ini karena hal itu.”
Cacian itu menurun setelah ekonomi berhasil pulih, tapi amarah itu tetap membara. Seorang penjual barang impor berkata, dia tidak mengizinkan kru TV memasuki ruang pamerannya jika mereka berasal dari jaringan Kota Seoul, karena dia tahu bahwa luasnya ruang pameran itu akan digunakan untuk menampar para pembeli mobil buatan asing, yang sering dimaki-maki. Sebuah survei terhadap 200 pemilik mobil mewah domestik yang baru-baru ini diadakan, 70 persen berkata membeli mobil impor menyebabkan membesarnya “ketidakseimbangan sosial”, dan hampir setengahnya menghindari mobil impor karena takut “kelihatan kotor” oleh sesama orang Korea.
Kebencian itu lebih dari sekedar urusan mobil. Kebencian itu juga soal kelas ekonomi dan korupsi. Kembali ke era Presiden Park, ketika mengelak dari pajak merupakan olahraga nasional, salah satu cara terbaik memergok kecurangan kekayaan adalah mengaudit seseorang yang pergi ke luar negeri atau membeli mobil-mobil mewah buatan asing. Sasarannya banyak yang berupa doktor, pengacara, dan orang-orang profesional lain dengan penghasilan tunai substansial, ketimbang para eksekutif, yang gaji perusahaannya lebih mudah dilacak. Hingga sekitar beberapa tahun yang lalu, sekedar memiliki sebuah mobil buatan asing saja sudah cukup untuk memicu audit. Para pembuat mobil asing memprotes praktik itu sebagai sebentuk kecurangan proteksionisme melalui intimidasi.
Segalanya berbeda saat ini, Seoul bersikeras. Formal barriers (Penghalang-penghalang formal) mulai longsor di awal tahun 90-an di bawah kepemimpinan Presiden Kim Young Sam, yang memangkas tarif mobil impor dari 20 persen menjadi sekitar 8 persen. Itu lebih rendah ketimbang tarif-tarif di Uni Eropa, Australia, Taiwan, dan beberapa negara sejahtera lain. Sejak itu, Seoul telah merevisi pajak-pajak diskriminatif terhadap mobil-mobil buatan asing, mempermudah syarat-syarat pengujian yang rumit dan sebaliknya berusaha memuaskan tuntutan-tuntutan orang-orang asing agar membuka pasarnya. Tapi, ketakseimbangan kotor dari perdagangan mobil Korea Selatan tetap berlangsung—4400 mobil impor tahun lalu, dibandingkan dengan 1,4 juta mobil ekspor—tetap menyulut kecurigaan bahwa Korea Selatan tetap mengekspor cara-cara kemakmurannya. Saham impor Korea Selatan yang kurang dari satu persen sebanding dengan enam persen di Jepang dan 20 persen di Amerika Serikat.
Seoul segera fokus pada upaya reformasinya terhadap cultural, informal barriers(penghalang-penghalang informal dan cultural). Hingga baru-baru ini, para pemimpin pemerintah dan bisnis di Korea tidak pernah berani terlihat mengendarai mobil buatan asing. Meskipun tak lama ini Presiden Kim Dae Jung berulang-ulang mendorong mereka agar membeli mobil impor untuk tujuan resmi. Awal bulan ini (ingat tahun terbit artikel ini—penj.), Hwang Doo Yun, Menteri Perdagangan, membeli sebuah LS Lincoln dengan pawai yang riuh. “Dengan tindakan saya ini, saya meyakinkan masyarakat bahwa para pemilik mobil buatan asing tidak menghadapi bahaya apapun,” kata Hwang. “Di era globalisasi ini, mengendarai mobil asing tidak menyalahi kepentingan nasional.” Dia lebih jauh memprediksi bahwa para pembeli mobil buatan Korea suatu hari akan merangkul mobil impor persis seperti “anak-anak Korea yang mulai beralih dari Kimchi ke Hamburger.”
Suatu hari, mungkin. Para penjual Ford melihat banyak perubahan bahkan di Posco, sebuah raksasa baja dan benteng dari kekuatan ekpor Korea. Mobil-mobil buatan asing dulu dihadang bahkan untuk memasuki halaman pabrik Posco (seorang jurubicara pabrik itu menolak kebijakan seperti itu pernah ada). Tapi para pegawai Ford berkata bahwa mereka terkejut baru-baru ini karena mendapat permintaan dari kantor presidensial Posco untuk mengirimkan daftar harga dan brosur tentang mobil-mobil Ford. “Mereka belum melakukan pemesanan apapun, tapi hal itu tetap sangat mengejukan,” kata penjual Ford di Korea, Jay Jung. “Kami masih bertahan hidup, tapi lihatlah tren pertumbuhannya ke depan.”
Pemerintahan Presiden Kim berusaha menyembuhkan rasa takut para pembeli mobil buatan asing akan hukuman. Pada bulan April, seorang pegawai pajak senior mengumumkan bahwa para pemilik mobil buatan asing tak lagi menjadi sasaran audit. Beberapa orang tetap skeptis. Hampir  dua per tiga dari para pemilik mobil mewah dalam sebuah jajak pendapat berkata bahwa mereka masih berpikir para pemilik mobil impor mengundang audit. Para penjual mobil impor dengan hati-hati berusaha menyembukan kekhawatiran para pelanggan, terkadang menawarkan pinjaman tanpa bunga dan dua atau tiga tahun garansi perbaikan gratis. Para penjual mobil buatan asing bahkan mulai melawan kaum nasionalis secara terang-terangan. Pekan lalu, pada saat para pekerta Daewoo Motors meningkatkan protes mereka terhadap kemungkinan pengambilalihan General Motors, para importir menyuarakan keuntungan-keuntungan yang modal asing bisa berikan kepada industri tersebut.
Penolakan Korea Utara untuk membeli mobil buatan Amerika memberikan General Motors lebih banyak insentif untuk melerai para pekerja Daewoo yang sedang marah dan hutang-hutang masif. Daewoo bisa saja mengizinkan perusahaan AS itu melepaskan invisible barriers (penghalang-penghalang tak tampak). Renault, pembuat mobil Prancis, melakukan trik yang sama tahun lalu ketika ia membeli sebuah pancang pengatur di dalam Samsung Motors. Mobil-mobil buatan Samsung sebenarnya didisain oleh pembuat asal Jepang, Nissan, tapi nama cap domestiklah yang diperhitungkan oleh konsumen Korea Selatan. Kurang dari satu dekade dalam bisnis pembuatan mobil, Samsung menjual 28000 mobil di Korea Selatan tahun lalu—bandingkan dengan hanya 182 mobil General Motors. “Dengan memperoleh Daewoo, General Motors bisa dengan mudah mengakses pasar mobil Korea yang sulit,” kata J. M. Park, seorang analis mobil bersama dengan Jardine Fleming, yang meramalkan gelombang investasi asing terhadap pembuat mobil Korea. “Terkadang tidaklah masuk akal membedakan pembuat mobil domestik dari pembuat mobil asing.” Strateginya cukup sederhana: jika kau tidak bisa menjual kepada orang-orang Korea, belilah perusahaan-perusahaan mobil mereka.[]


Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU