When I Believe my Passion
Hushhh
Kalimilk Jakal km 4,5, jam 16.45, 27 Nopember 2013
Bersama teman-teman alumni KP09 dan beberapa anak-anak yang
berhasil direkrut untuk gabung di forum obrolan –yang belum bernama, kami
ngobrol soal community empowerment. Hush. Pembahasannya ngk seberat yang
dibayangkan mula-mula, awalnya..tapi,
Awalnya janjian di depan balairung, gedung pusat UGM, tapi
karna kerso alias kemauan mbak bintang tamu, kami akhirnya pindah ke Kalimilk
(dan parahnya dibayarin semua sama mbaknyaa, dan saya harus menelan
mentah-mentah kenyataan bahwa saya ngk pesan apa-apa karna saya mencoba realistis bahwa saya ngk ada duit haha)
Diskusi berlangsung sepi, kemudian meriah, kemudian tegang,
kemudian sepi lagi, kemudian tegang lagi, kemudian tertawa bersama. Ah ternyata
bicara tentang pemberdayaan masyarakat (bahkan belum terjun pun) sudah berasa
nano-nano. Aaaaak, ingin segera pergi dari kampus dan main-main dengan ibu-ibu
dan bocah-bocah yang polos dan unyu. Hidup tanpa tendensi dan tak serba
artificial.
Hm. Lebih tepatnya patah hati sebenarnya setelah diskusi itu
berlangsung, karna mau ngk mau harus terpaksa menelan getir kekecewaan bahwa
saya belum lulus, dan menerima tuduhan dengan tulus ikhlas bahwa semangat yang
menggebu-gebu hari ini, kalo tidak disiasati dengan hati-hati dan proporsional,
berpeluang menimbulkan kekecewaan dan kekapokan akut. Fainhhh.
Pertama. Tujuan kamu bikin komunitas itu untuk apa??
Hm. Apakah kamu ketika terjun ke masyarakat “hanya” akan
menjadikan mereka sebagai kelinci percobaan ambisimu? ?
Artinya. Saat kamu memang dari hati terdalam ingin
mendedikasikan hidupmu untuk pemberdayaan, maka siangmu, malammu, senangmu,
sedihmu, mungkin akan terserap habis bersama mereka. Ambisi-ambisi politis
adalah ambisi pengabdian, kepentingan adalah kepentingan membuat mereka
tersenyum, dan.. kekuasaan adalah kekuasaan saat menatap mata hati dan mata
inderanya berbinar menyiratkan gemintang. Jangankan berharap nama, kamu diterima aja itu sudah
sebuah hadiah yang teramat istimewa.
Ah. Bertemu mbak Fajar yang malang melintang di dunia persilatan adalah sebuah jodoh yang sangat tepat. Saat saya membumbung
tinggi, bertemu dengan orang yang menarik benang lelayang ini turun
pelan-pelan, dan mengajak saya melihat dengan kacamata kesungguhan. Barangkali
beliau tahu, agar ketika terlanjur naik nanti, saatnya jatuh, tidak terlalu
menyakitkan gagal dirasa.
Baik, inilah kira-kira yang beliau sampaikan:
Saat terjun ke masyarakat-pastikan data yang akurat. Di desa
itu, di daerah itu, butuh apa dan kita bisa memberi apa.
Pilihan memberi masyarakat dengan cara top-down adalah
pilihan yang tidak bijak. Karna sejatinya, yang namanya memberdayakan itu,
berarti masyarakat punya apa, dengan apa, dan bisa apa, kita kolaborasi menjadi
satu perpaduan yang bisa berjalan dengan baik setelah kepergian kita.
Jangan pernah main-main dengan pemberdayaan.
Jangan pernah menggunakan istilah pemberdayaan untuk hal
pragmatis apalagi sebatas memuaskan hasrat keingintahuan dan
ke-sok-kontributif-an.
Kalo niat pemberdayaan sebatas pragmatis, berhentilah
diskusi dengan saya (atau aktivis social empowerment yang lain), cukup baca
laporan-laporan yang berjilid-jilid bisa kamu temui di perpustakaan.
Hm. Funding alias nyari dana, kudu rasional. Kalo lingkup
kecil yang dipunya, mending gabung dulu yang yang sudah terlanjur besar. rumah
zakat, komunitas anu, kamunitas itu dsb dst.
Kalo mau yang miskin tantangan, ya cukup datang ngajar TPA,
bikin perpus (weh, ternyata yang beginian pun masih dibilang miskin, jadi
pemberdayaan yang serius tu yang seperti apa ya???)
Masyarakat dikatakan selesai dan berdaya, adalah ketika
sudah terlembagakan. Artinya, tak sekedar ada ketua dan jajarannya, tapi ada
nilai yang terlembagakan dan maju dengan sendirinya.
..
Hm. Jadi baiknya ide ini dilanjutkan ngk ya?
Ah, sayangnya saya sudah terlanjur membangun cinta.
Wa Fatim.. subhanallah.. semangaat yaa..
ReplyDeletesemoga sukses, bisa memberi manfaat ke masyarakat..
kangen <3
iya Mbaak,, ayo maen ke asma \^^/
ReplyDeletemhn do'anya ya mbaak