Menakar Pantas (2)
Melihat mereka kesana kemari, berjalan keliling mengitari
ruang-ruang yang awalnya gelap tak terbayangkan bakal dimasuki, meniti jalan
pelan-pelan ditemani sinar headlamp yang nyalanya tak seberapa, mereka
bertahan. Dalam diam, mereka bersabar pelan-pelan belajar.
Melihat mereka terdiam. Terduduk lesu melawan segala godaan
untuk mundur pelan-pelan. Menatap sayu tulisan-tulisan panggilan, dengan berat
hati menyesuaikan diri, bertahan dalam ucapan-ucapan tanya yang sulit dijawab
dengan mudah dan serta merta. Dalam keterbatasan kebersegeraan dan
keberseragaman, mereka bertahan diam-diam. Mereka, menahan gejolak kata-kata
muntab dalam diam-diam.
Satu satu tulisan disampaikan. Bukan keluh, hanya sekedar
pembagi rasa. Aku ingin begini, aku ingin begitu, mbak tolong aku dibantu. Dalam
keterusterangan sikap, mereka merengkuh tangan kebersamaan keberjamaahan
diam-diam.
Dalam ritme biola yang dawainya belum seirama, dalam gitaran
yang belum sepadan, mereka belajar jujur dalam diam-diam.
Sementara dalam gempita pendar pandang orang, mereka adalah
orang tenar. Orang yang begitu dikagumi, orang yang begitu dielu-elu. Dalam diam-diam,
riak-riak tunduk saat tau arti gempita adalah tanggung jawab dan pelayanan
tanpa kedzaliman, tundukan kepalanya semakin dalam.
Dalam ketulusan sikap dalam raut sendu kejujuran, mereka
berkisah sulitnya memadupadankan dua pokok dalam pikiran yang jauh berbeda,
tapi harus disepadankan.
Dalam kesepian kawan seperjalanan, mereka menahan diri dari
takut, lantang meraka menyuarakan keras kata-kata benar dan mengambil sikap
meskipun tahu akan banyak dicecar orang.
Dalam keserbagamangan proses pengakhiran, mereka memilih tersenyum
memastikan akhir masa yang bakal mengukir senyum dan bertabur syukur kemenangan.
Satu-satu tulisan dikirimkan. Satu-satu raut muka
keterusterangan diperlihatkan.
Ah indahnya kejujuran. Indahnya keterbukaan persaudaraan.
Satu persil bagian tubuh, seperti dengan sadar tergerak. Saat
satu syaraf saja sakit, ah rupanya dengan mudah yang lain merasai.
Ah indahnya kejujuran, keterbukaan.
Kata “saya tak mampu”, “saya butuh”, “saya ingin”, menjadi
ucapan yang ringan terlontar karna yakin saudaranya sudah sepenanggungan.
Kadang nasihat dirasa tak perlu, tapi kata-kata tentang
kisah harian dan perjalanannya sudah lebih dari melimpah menggenapkan hikmah.
Ah iya. melihat mereka kesana kemari, dengan segenap harap
yang membuncah akan pertolongan, dengan segenap harap agar nafsu tak memutar
orientasi, dengan segenap coretan-coretan mimpi,
Pantaskah aku ditengah-tengah
mereka?
(( Kamu, hanya harus membagi, seandainya ada sedikit yang kamu
punya.
Mengajari, seandainya ada sedikit yang lebih dulu kamu bisa.
Bukankah dengan begitu kamu sudah begitu bahagia? ))
Mengajari, seandainya ada sedikit yang lebih dulu kamu bisa.
Bukankah dengan begitu kamu sudah begitu bahagia? ))
Lihatlah, bahkan mereka memberimu jauh lebih banyak dari pada
apa yang kamu kira awalnya..
Iyakah pantas?
25 Okt 2013
23:55
Comments
Post a Comment