(nostalgia) Merapi

Bukan sekadar pendakian, tapi inspirasi penaklukan ketinggian diri sendiri

18 Oktober 2012;  selepas kelas pagi

Perjalanan nekad ke Bandung tanpa tujuan pasti, inspirasi pendakian Merapi.

Perjalanan dimulai dari penatnya hidup melihat pencitraan yang terus saja didengung-dengungkan di sana-sini. Atas nama marketing, atas nama kenaikan nilai jual. Saya rasa kesemuanya itu benar. Di era yang kita harus memposisikan diri menjadi pelayan, pemberi dan penunjuk jalan orang-orang sekitar, menunjukkan kekuatan dan memastikan di kenal orang tentu hal yang niscaya. Saya mengamini sepenuh yakin. Logika bisa berkompromi, tapi rupanya nurani perlu di ajak berdamai. Saya butuh perjalanan perenungan.

“ya. terjun dalam arus pusaran adalah keniscayaan karna kita ada disana untuk perbaikan. Tapi aku rasa, ada waktu sejenak untuk berkontemplasi. Agar karat pragmatisme tak semakin menjadi-jadi.”
Berangkat. Sendirian. Dengan satu tujuan tak pasti kecuali bahwa saya punya saudara di sana, sekadar tempat untuk numpang tidur.

Sampai dengan 19 Oktober 2012, sore hari. Berputar jalan kaki mengitari kota Bandung, mulai dari simpang Dago, lapangan Gasibu dan kampung sepi di Dago menaik. Kembali ke stasiun, jalan kaki senyum sapa dengan ibu-ibu tua yang menata arang kayu dalam karung-karung putih di samping-samping gubuk, terdiam sejenak di pelataran masjid Al Ukhuwwah, Jalan Wastu kencana. Sendirian.

Kembali lagi ke Jogja, dengan kereta Mutiara Senja. Sampai di Stasiun Tugu 20 Oktober 2012 dini hari. Sendirian. Dan jalan kaki menuju Masjid Mardliyah, tempat sepeda dititipkan sebelum nekad ngejar angkot keberangkatan kereta.

Apakah damai sudah ditemukan? Rupanya belum.

Sampai salah seorang teman telah selesai dengan segenap persiapan lobi dan rekayasa agar rencana di akhir pekan lancar. Dikenalkanlah saya dengan seorang teman yang akhirnya mengarahkan kami dalam pendakian.

Masih di hari tasyrik, di akhir pekan, jam 11 malam berempat berangkat dari rumah saya yang tak jauh dari gunung yang tersohor ketenarannya karna erupsi yang terjadi bersering-sering.

Jam 1 dini hari, tanggal 28 Oktober 2012, kami memulai keberangkatan pendakian.

Sepanjang jalan, saya lebih banyak diam. Dalam hati merenungi, betapa susah hidup berdamai dengan pergerakan zaman.

Mendaki gunung, sepanjang fisik dipersiapkan, dan cuaca tidak terlalu ekstrim menghalangi perjalanan, sebenarnya mudah saja dilakukan.

Sampai di bibir kawah yang bau belerang kental menyeruak indera penciuman. Ya. barangkali ini tempat yang begitu tepat untuk melarung ego diri yang masih menggumpal kuat di sanubari.

Sampai dengan perjalanan pulang, akhirnya teresapi sudah, bahwa kamu baru bisa mengenal saudaramu dalam sebuah perjalanan panjang.

Mendaki, kini aku tahu
Bahwa yang ditaklukan bukan puncak, tapi diri sendiri.










All photos credit by Mas Enggar
19:23
31102013

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU