Mencari Fathimah Az Zahra (1)


Dunia masih mengenangnya. Airmata masih ada yang mengalir ketika mengingat kebesarannya. Ada rasa malu kalau membandingkan dengan keadaan kita sekarang. Ada rasa haru kalau melihat kembali perjuangan-perjuangannya; bagaimana ia dengan penuh kasih sayang mengusap darah suaminya seusai perang dan merawatnya penuh perhatian; bagaimana ia mengambil air sendiri dengan berjalan jauh sampai membekas di dadanya; dan bagaimana ia menginap di rumah Rosululloh sementara Ali menggantikan tempat tidur nabi saat orang kafir Quraisy mengepung. Malam itu, Rosululloh meninggalkan Makkah dan bersembunyi di Gua Tsur. Sementara orang kafir mengancam nyawanya.

Dari rahimnya yang suci, kita mendengar nama Hasan dan Husain yang ikut bersama kakeknya ketika ber-mubahalah (perang doa) dengan pendeta Bani Najran. Ia juga meninggalkan Zainab, yang kelak harus meninggalkan Mesir. Dari keturunan Zainab inilah kelak Imam Syafi’i mendapat tempat perlindungan, dan membuka pesantrennya.

Bulannya Dzulhijjah. Sebulan berikutnya, dunia tidak akan pernah melupakan. Jika pada tanggal 10 Dzulhijjah orang-orang islam bergembira ketika memotong leher kambing dan onta, hari itu hati yang bersih menjerit menangis ketika penguasa yang zalim memotong leher orang yang paling dicintai Rosululloh SAW. . Jika dulu Fathimah membukakan pintu kepada Rosululloh ketika akan menemui AL Husain, hari itu para wanita segera menutup wajahnya dengan niqab, untuk menyembunyikan keperihan hatinya ketika melihat kepala Husain diarak. Jika dulu Rosululloh sering mendekap dan menciumnya, hari itu, wajah yang sering didoakan Rosululloh dihinakan. Bahkan ketika sudah menjadi mayat, giginya masih diantuk-antukan dengan ujung pedang. Padahal, jenazah orang kafir saja kita disuruh menghormati.

Akan tetapi, Husain harum justru dengan darahnya. Sama seperti air mata Zainab yang menyelamatkan Ali Ausath, satu-satunya putra Al Husain yang masih tersisa dari pembantaian. Airmata itu sampai sekarang tetap mengalir di dada kaum muslimin yang tahu hak mereka, bercampur dengan harusmnya darah Al Husain.

Pelajaran kadang memang harus pahit. Peristiwa di tanah duka (Karbala) itu rasanya terlalu pahit. Hanya Husain yang sanggup memikul kemuliaan itu. Kita yang mencintai leher kita, apalagi kita masih mencintai saputangan dan keramik unik, tidak cukup layak untuk mendapatkan kehormatan. Alangkah tingginya Husain dan keturunannya. Alangkah jauhnya kita darinya. Lantas, apakah masih ada alasan untuk bersombong di hadapan kemuliaannya?

Ah sudahlah, dengan rasa malu atau tidak sama sekali, kita harus mengakui, betapa jauhnya kita dari orang-orang terdahulu. Sangat jauh.

Meskipun demikian, masih ada yang dapat kita ambil. Kita dapat melihat kembali sebagian kecil keteladanan Fathimah AzZahra sehingga mempunyai keturunan yang mulia sampai generasi-generasi yang jauh sesudahnya, termasuk Syaikh Abdul Qadir Jailani maupun Sayyid ‘Abdullah Haddad.

Imam Nawawi al Bantani (al Jawi) pernah menuliskan.

Suatu hari Rosululloh menjenguk Fathimah, ketika itu, ia sedang membuat tepung dengan alat penggilingan sambil menangis.

“Kenapa menangis Fathimah?” tanya Rosululloh. Mudah-mudahan Alloh tidak membuatmu menangis lagi.

“Ayah, aku menangis hanya karena batu penggiling ini, dan lagi, aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti.”

Rosululloh kemudian mengambil tempat duduk di sisinya,kata Abu Hurairah. Fathimah berkata, “Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada Ali supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah.”

Setelah mendengar kata-kata putrinya, Rosululloh bangkit dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian gandum dan dimasukkan dalam penggilingan. Dengan membaca Bismillahirrahmanirrahim, maka berputarlah alat penggilingan itu atas ijin Alloh. Beliau terus memasukkan biji-biji sementara alat penggilingan terus berputar sendiri.

Rosululloh berkata, “Berhentilah atas izin Alloh.” Seketika alat penggilingan itupun berhenti. Beliau berkata sambil mengucapkan ayat AlQur’an : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak pernah mendurhakai Alloh terhadap segala yang diperintahkanNya, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahrim:6).

Merasa takut menjadi batu yang kelak di neraka, tiba-tiba batu (penggilingan itu) berbicara atas izin Alloh, “Ya Rosululloh, Demi Dzat yang mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rosul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh timur dan barat, pasti akan aku giling semua.”

Dan aku mendengar pula, Kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, Rosul SAW bersabda, “ hai batu, bergembiralah kamu. Sesungguhnya kamu termasuk batu yang kelak digunakan untuk membangun gedung Fathimah di Syurga.”

Seketika batu bergembira dan berhenti.

Nabi bersabda kepada putrinya,”Kalau Alloh berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Alloh berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu, serta mengangkat derajatmu.”





*totally copas dari Buku Ustadz Faudzil ‘Adzim, dengan Judul asli: Tuhan, Dimana Fathimah Azzahra itu sekarang? Mitra Pustaka: 2009

14.03
29/10/2013

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU