Padi Organik
Jadi, Hari ini tanggal 16 Oktober 2013 adalah hari terakhir
saya ambil data lapangan dari proyek yang lagi saya kerjakan sama Novi. Seperti
biasa, banyak hal yang saya temui yang bisa saya katakan istimewa. Dari mulai
keberangkatan yang molor (*ini karna ulah Novi yang punya banyak gawean di sore
harinya yang konon mau ngurusi pra-DM dan saudara-saudaranya - yah, dia emang masih punya banyak proyek keumatan, beda sama saya!), keberangkatan
bersama mas Taufik bertiga yang aneh binti ajaib obrolannya, sampai sepanjang
jalan yang setiap kali bicara apapun selalu dikembalikan ke topik Dawet Ireng khas
Purworejo *yang kata Novi jangan disebut dawet hitam, sebagaimana kita ngk bisa
menyebut dawet Ayu jadi Dawet cantik! (Sure!! Ini anekdot paling garing
sepanjang perjalanan).
Masterpiece perjalanan hari ini adalah dipertemukannya saya
dengan seorang ketua kelompok Tani bernama Pak Suwarno. Ya. Namanya Pak
Suwarno, ketua kelompok Tani Mantep, di satu dusun di kecamatan Ngombol
Kabupaten Purworejo sana.
Awal datang, subhanalloh... Rumahnya istimewa!! Kompleks
rumah-rumah di sekitarnya juga luar biasa istimewa!! Depan rumah, samping
rumah, belakang rumah, atap rumah (ngk nding!) dipenuhi tanaman-tanaman
sayuran, bayam hijau, bayam merah, tomat, cabe, bawang merah, gambas, pare,
sawi dan bermacam-maca, lainnya yang ditanam di polibag dan ditata sedemikian
rupa sehingga menyerupai taman-taman sayuran yang hampir cantiknya mengalahkan
taman!
Saat kami masuk dan mendengar cerita dari beliau, ceritanya
jauh-jauh tak kalah istimewa!!
Pak Suwarno punya banyak sawah, sekian meter persegi,
sebagian di tanami tanaman padi biasa, yang dirawat dengan perawatan padi
biasa, dengan pupuk dan semprot antihama yang biasa, yang intinya pake
pupuk-pupuk dan semprot-semprot kimia. Sebagian lagi, beliau tanami dengan
tanaman Padi organik! Yang beliau tanam dan beliau rawat dengan pupuk kompos
dan kandang yang steril dari pupuk kimia sama sekali!
Pak Suwarno bercerita bagaimana awal mula dikenalkan dengan
cara bertanam organik ini. Beliau ikut “sekolah” padi organik ke Jawa Barat dan
akhirnya mempraktekkan pola tanam tanpa zat kimia ini dari tahun 2010 sampai
sekarang. Awalnya hasil jauh dari yang pake kimia, tapi beliau tetap bertahan
dan bersabar sampai hari ini hasil yang dipanen dari panenan organik sudah sama
dengan yang ditanam dengan cara kimiawi.
Hasil organik ini, jauh lebih ekonomis, biaya pemupukan dan
perawatan jauh lebih murah, sementara hasilnya jauh lebih mahal. Kisaran
perkilo 7000-8000 rupiah bagi beras biasa, untuk beras organik beliau bisa
mendapatkan harga 13.000 tiap kilo jualnya. Terlebih sekarang, dengan jargon
back to nature yang bergema dimana-mana, permintaan akan organik kian
meningkat. Wah!!
Beliau jelaskan bagaimana sistem korporasi penjualan beras
organik yang dikepul lewat orang kepercayaan dan dijual bersama-sama, dengan harga
yang telah disepakati sehingga harga jual seragam. Tidak ada monopoli dan tidak
didominasi harga yang ditentukan satu orang semata. Korporasi ini, Pak Suwarno
sebut berkali-kali sebagia Komunitas Organik.
Wah.
Lebih lanjut Pak Suwarno memaparkan latar belakang beliau
memilih untuk terus menekuni organik, tentang kesuburan tanah yang terus
terjaga sampai kelak tetap lestari sampai anak cucu, juga beliau ceritakan
susahnya mengajak tetangga sekitar dan rekan-rekan petani seperjuangan untuk
menekuni jejak yang sama. Ah iya, mengubah kebiasaan memang tak semudah
membalik telapak tangan.
Kita ingat! Bagaimana saat revolusi hijau di Indonesia
begitu digencarkan, saat pupuk kimia dibagi secara murah, saat antihama alias
pestisida instan begitu tersedia bebas. Memang iya, hama di saat itu mati
semua, tapi di beberapa hari kemudian anak cucu hama yang berhasil lolos dari
maut yang dilancarkan pestisida akhirnya beranak pinak dan selnya bermutasi
menjadi anti alias kebal alias disemprot pestisida pun tidak mati. Maka segala
macam siklus ekosistem menjadi terganggu.
Kini, untuk memulihkan kembali cara bertani para petani
dengan cara tradisional dan organik butuh waktu dan penyadaran yang tentu tak
mudah dan butuh ketelatenan luar biasa..
Saya jadi ingat sebuah artikel, jaman kapan entah saya lupa.
Yang disitu memaparkan kisah hidup seorang laki-laki luar negeri, anak
pengusaha pisau vixtorinox yang memilih menekuni dunia pertanian organik di
Indonesia. Satu statemen yang saya ingat “Ya, Organik itu lawan kata anorganik,
tapi dalam perspektif yang sempit. Dalam arti luas, lawan kata organik adalah
egois. Ya. Egois.”
Saya merenungi dan mencerna cukup lama kata-kata dalam
artikel itu, dan makin kesini, saya temukan banyak arti dari kata-kata itu.
Dalam lingkup bersama di negeri ini, kedaulatan pangan
adalah bagaimana mengembalikan pertanian ke dalam perspektif luas, dalam
pemaknaan pertanian organik, yang memiliki lawan kata dari egois. Kenapa demikian?
Ah iya. coba saksikan lewat sebuah proses pertanian organik
itu dikerjakan.
Padi organik ditanam dengan bibit yang dibuat mandiri oleh
petani, lewat bulir padi hasil panenan yang terdahulu yang disimpan atau
ditangkarkan. Kemudian di tanam. Diairi dan dipupuk dengan abu, air seni, pupuk
kompos dari pembusukan tanaman di kebun-kebun mereka, dan pupuk kandang dari
kandang-kandang ternak mereka. Dipanen dengan tenaga tetangga dan saudara,
dijemur diterik matahari dan digiling jadi beras bersama-sama. Sekalipun melibatkan
mesin, esensi organik disini tak sepenuh berkurang. Dan lihatlah proses itu
semua, padat karya, tak ada yang terbuang, tak ada rantai organisme yang
terugikan, serta padat makna bagi perikehidupan kita dalam berbangsa dan
bernegara.
Iya. Organik adalah lawan dari egois. Organik adalah
mengkaryakan dan memanfaatkan seluruh kemampuan asli dari diri sendiri, dan
terbukti memberikan output yang jauh berlipat-lipat ganda. Tapi jika kenyataan
egois yang memenjarai kepentingan satu dua orang yang hanya ingin memperkaya
diri sendiri, lupa dia pada potensi luar biasa yang dimiliki diri sendiri, tapi
terpesona oleh untung rupiah per rupiah yang ingin cepat dikantongi, tanpa
peduli nasib bangsa sendiri.
Itulah negeri ini.
Betapa ulah segelintir orang-orang egois, membuat kita
memang maklum ketika lumbung padi seperti negeri ini masih saja mengimpor beras
dari sana sini.
Tapi seperti juga ada sedikit pak Suwarno di tengah-tengah
orang yang masih nikmat dengan ke-instan-an kimiawi, di negeri ini, sekalipun kadang
kita tak punya daya pikir berlama-lama atas keegoisan satu dua orang yang terus
memperkaya diri sendiri, masih ada segelintir orang-orang organik yang terus
peduli, bahwa kita, negeri ini, dengan segenap potensi dan kesederhanaan diri,
bisa mandiri, bisa memutar potensi untuk sebuah nilai lebih, yang jauh lebih
berharga mahal, dan suatu saat akan kita saksikan, para egois di negeri ini,
yang tak puas memperkaya kantong-kantong pribadi, akan terduduk lesu menggigit
jari.
Percayalah, generasi organik itu akan datang. Tinggal soal
waktu, dan marilah bersabar dengan pembuktian yang akan terbuktikan!
Terimakasih lapangan hari ini! Saya sangat sangat belajar
banyak!
Sambil konon peringatan #HPS13 (telat sekian menit)
Kamar Novi sambil lembur inputan data
17102013
0:05
Comments
Post a Comment