Ketulusan
Sebagaimana Ustadz Abbas as Sisi menuliskan
dalam bukunya ‘Bersama Kafilah Ikhwan’, yang pertama kali menyentuh hati, dan
mengaitkan jiwa jiwa yang awalnya berserakan, adalah senyum ketulusan. Hingga
mampu memindahkan seseorang dari suatu pribadi, menuju lompatan pribadi yang
sama sekali berbeda, awalnya adalah tatapan ketulusan, dan keikhlasan sang ia.
Tatapan itu, tak dibuat buat, dan imbasnya terasa, karena yang sampai ke hati,
pastilah karena ia lahir dari hati.
Sehingga akhirnya jangan dibuat heran, atau
mencari cari alasan, apatah lagi mencari celah untuk menjegal pilinan susunan
yang telah terbangun kuat, karena lagi lagi, disana berpusar segala ketulusan.
Kenapa mau ikut? Kenapa asal patuh? Kenapa diam ngikut alir sahaja?
Jika tak paham bahasa cinta, atau tak tau
bahasa ketulusan, maka yang bersirobok dari sudut pandang yang tak mengerti
adalah taqlid buta, dan tak punya prinsip asal cari aman. Padahal disana
sungguh sangat mudah kau dapati, apa yang mereka cari ? pun ada banyak permintaan yang kadang tak
cukup banyak waktu untuk bisa membuat banyak orang mengerti ? lagi lagi,
ketulusannya telah menaklukkan dan mematahkan alibi alibi penghindaran
penghindaran dan apa kata orang.
Lagi lagi, ketulusan.
Tak ada orang yang suka terkooptasi apalagi
disandung selainnya karena kepentingan. Tak ada yang suka terkekang oleh
penguasaan orang, pada dasarnya, setiap jiwa cinta pembebasan.
Dan pembebasan, bisa jadi munculnya ia dari
pertalian dan perkawinan dua kebaikan yang menyatu, kesabaran dan ketulusan,
dari kedua pihak, yang mencari jawab, dan yang mengarahkan.
Lagi lagi, ketulusan.
Ini bahasa cinta. Pada percakapan para tentara
di antara langkah langkah panjang masa. Dan karena ini bahasa cinta, maka yang
tak pernah membangun cinta tak kan pernah mampu memahami segala hal ini. Terasa
absurd. Acak. Abstrak. Dan memunculkan pertanyaan kenapa dan kenapa.
Ketulusan.
Jangan tanya kenapa mereka mau bersusah susah.
Karena susahnya adalah di mata sudut pandang orang ketiga. Tapi coba kau tanya
pada pelakunya, jawabannya adalah, ini susah memang, tapi disinilah letak
nikmatNya saya rasakan. Kenapa mau berlelah lelah? Ah kata siapa lelah, kita
terlalu asik sampai tidak ingat apa itu kosa kata lelah. Kenapa mau berlapar
lapar? Kenapa mau berhimpit himpit dengan keterbatasan finansial? Tanyakan ke
semua, kata siapa itu menimpanya? Itu hanya anggapan orang. Sedang hatinya
riang gembira menderapkan langkah langkah padu melanglang jauh ke depan menatap
visi yang dibangun kian panjang.
Ketulusan.Dari sang dia, maupun sang kita.
Adalah langkah pertama, bergandeng berbarengan dengan kesabaran.
Maka ketika itu kian tiada?
Jangan tanya berapa banyak gumaman yang
terdengar, menunggu berakhir dan bergantinya masa. Bisik bisik yang terdengar
karena demikian banyak kebingungan yang dirasa. Atau ketakmauan untuk
bersegera. Atau kian parah lagi, semakin cerdasnya seni membuat buat alasan
oleh sesiapa saja.
Bisa jadi memang ketulusan.
Dalam segala hal
Ketika ia tiada, akhirnya perhitungan untung
rugi yang terpatri di kepala. Dengan keluar ini yang akan balik adalah ini,
dengan modal sekian aku akan dapat sekian, dengan usaha ini harusnya kudapatkan
seperti ini. Pun tidak, akhirnya jangkitan penyakit ‘saya tak mampu’ dan ‘yang
lain saja’ yang jadi pembelaan ketakmauan diri. Atau, ‘harusnya aku tapi kenapa
dia’.
Lagi lagi, ketulusan. Dalam segala hal.
Ketulusan memulai, ketulusan mengakhiri.
Ketulusan menampilkan diri, ketulusan tersembunyi. Ketulusan memakai, ketulusan
melepas kembali. Ketulusan datang, ketulusan meninggalkan. Ketulusan dan
ketulusan. Di awal, sepanjang perjalanan, dan diakhir waktu.
Kesabaran dan Ketulusan, keduanya tak akan
menghasilkan apa apa, kecuali kebaikan.
Multazam 7
14 Oktober :: 23.17
Comments
Post a Comment