Persaudaraan Itu Bernama Ukhuwwah (4)


Kala itu, saya dibersamakan dengan orang orang yang sedikit peduli dengan dakwah kampus, dakwah kampus yang benar benar terbiasa menggunakan kosakata ‘dakwah’ dalam obrolan obrolannya, dalam penyebutan nama lembaga, juga tak tanggung tanggung, lembaga dakwah kampus’ pula lembaganya disebut. Mengingat sepanjang kebersamaannya, baru terasa sangat berarti setelah usai dari keberbarengan urusan urusan yang sama. Ya begitulah manusia, dekat tak dianggap, baru setelah pergi dicari cari. Mirip istilah apa?  Yups, betul. Jinak jinak merpati (#opo djal –a )

Dalam suatu waktu, diajaklah saya bersama mereka orang orang peduli itu, silaturahim ke Umi Asri Widiati, di gang Gurameh (atau Sepat ya?), kawasan Wedomartani. Silaturahim awal, karna timingnya sangat awal bagi saya yang baru tau apa itu arti ‘peduli’. Sampai di tempat Umi Widi, kala itu - sebentar, Umi Widi adalah pengarang buku ‘Tarbiyah Madal Hayah’ kalo teman teman tahu, satu diantara 100 buku pengokohan tarbiyyah terbitan Era Intermedia, Solo- beliau sambut kami dengan senyum sumringah khas beliau, keluar teh dan pernik makanan kecil, dan bertausiyahlah beliau mengalir lembut dengan bahasa cinta. Tentang Ukhuwwah. Tentang Ukhuwwah, sebagai pondasi amal Jama’i.

“Coba baca Al hasyr mbak!” sela Umi kala pembicaraannya begitu kami nikmati (masih membayangkan ekspresi menikmati tausyiah kala itu)

(baik pembaca budiman, kiranya di sekitar laptop/PC anda terdapat mushaf, berkenanlah anda membuka surat Al hasyr, tepatnya ayat 10)

“dan orang orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshar), mereka berdo’a, “Ya tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah engkau biarkan rasa Ghil dalam hati kami terhadap orang orang yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pennyantun lagi Maha penyayang” (QS. AlHasyr : 10)

Umi Asri bacakan ulang ayat tersebut berikut artinya. Kami masih menyimak dengan khusyu’ (atau terkantuk kantuk ya ?)

Ghil, kata Umi, adalah satu kosa kata yang ringan sekaligus berat. Ialah hal yang paling mula mula harus dihilangkan, sebelum kita bekerja bersama. Ghil, adalah rasa dalam hati, dekat ke dengki, dekat ke iri, atau bisa jadi dekat pula ke rasa aku merasa tinggi dibanding yang lain. Apa jadinya rasa ini jika tak hilang padahal yang akan dilakukan adalah proses yang kedepannya sekian panjang?

Begitulah rukun ukhuwwah yang pondasi. Menghilangkan ghil. Hampir sama dengan implementasi berlapang dada atau salamatu shodr kali ya? Hilangnya prasangka tak baik, dan menerima apapun saudara apa adanya ia, dengan segala kelemahan dan kelebihan, serta berjanji untuk saling melengkapi, memperbaiki, dan menuju sesuatu yang ‘tinggi’ milik jama’i.

“dan orang orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshar), mereka berdo’a, “Ya tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami, dan janganlah engkau biarkan rasa Ghil dalam hati kami terhadap orang orang yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pennyantun lagi Maha penyayang”

Baik.
Kau yang akan jadi pemeran Muhajirinnya atau Anshornya?

Multazam 7
15 Okt : 23.08


Comments

Popular posts from this blog

Mencipta Kanal Kanal

Korea untuk menutup 2017 dan mengawali 2018

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan