Pengorbanan dan Cita Memenuhi Panggilan



11 Dzulhijjah 1433 H
Lepas dari beberapa jam dari tertunaikannya sholat Ied Adha. Sekian kambing dan sapi tersembelih, melepaskan merah darah dari nadi leher hewan hewan yang diberkahi, terinfiltrasi, masuk ke bumi, dan tak terlihat lagi. 

Ied mubarrok!

Dari berkorban, kita belajar dari nabi Ibrahim, dan Ismail, tentu saja. Dari kedua manusia mulia ini (alaihumassalam), kita belajar banyak agenda agenda yang terekam sejarah di momentum hari hari ini, Pengorbanan. Bagaimana fragmen sejarah telah berkisah, seorang bapak yang lama menanti lahirnya anak, yang mencerahkan hari harinya, mewarnai putihnya nuansa rumah, bilangan tahun tak jeda berdo’a, dan ketika tumbuh dewasa dengan segenap kesempurnaan akhlak, dihadapkan pada satu perintah via mimpi yang benar, sembelihlah dia!

Pengorbanan. Ada ilmu ikhlas, yang seringkali tak bisa dipahami sampai batas nalar manusia. Karna manusia memang hanya hamba, hanya makhluk, yang tak paham dan tak banyak tahu sesungguhnya apa yang akan terjadi, dan yang dikehendaki penciptanya yang segalanya maha tahu, makanya, jangan sok tahu (?!). jangan nuntut ‘baru mau gerak atas dasar kepahaman’, sebagai alibi atas ketakmauan bersegera. Lha piye? Dipahamkan malah lari lari kemana, kadang kadang, memang beda tipis ketinggian hati dengan alibi alibi yang terlontar (#no offense, lagi negur diri sendiri yang masih sering malas malasan). Seperti pengorbanan sang Ibrahim, atas penyembelihan sibiran tulangnya, beliau ‘alaihissalam tak tahu apa yang sesungguhnya dikehendakiNya, tapi millah beliau yang teramat hanif, menjadikan beliau bersegera. Meski berat. Meski tak mudah.

Pengorbanan. Ada ilmu patuh, yang juga kadang tak bisa dipandang sejauh jangkauan mata telanjang maupun atas bantuan teropong luar angkasa. Lagi lagi, karena kita hamba, karena kita makhluk. Kepatuhannya adalah atas dasar aqidah yang kokoh dan kuat. Bahwa mimpi itu mimpi yang sidq, tak sembarang mimpi dan itulah mimpi dariNya. Maka dia bersegera mengiyakan, meski disembelih itu meniscayakan keluarnya darah, terputusnya nadi, dan berhentilah jantung berdetak. Tapi aqidah adalah aqidah, logika manusia tak sanggup menjangkaunya, dalam perkara yang teramat sering.

Pengorbanan. Tak pernah tau dan tak pernah menduga duga, apalagi dengan dugaan buruk yang menjadikan pesimis. Tidak. Pengorbanan itu bebas dari itu semua. Bebas prasangka, meskipun khasnya manusia, itu selalu dihadirkan, tapi keberhasilan menepis adalah kata kerja, dengan usaha.

Pengorbanan. Tak pernah ada gelisah, karena setiap yang bernyawa sudah punya jatah ransum sepanjang hidupnya. Seperti kata-kata Bunda Hajar yang ditinggal di Mekah kala masih sangat gersang,

“ Jika Rabbmu yang memintamu meninggalkanku disini, maka Dia tak kan menyianyiakan kami”.

Pengorbanan. Tak ada kata pesimis sebelum mencoba. Seperti lari larinya Beliau sang Bunda Hajar dari bukit Shafa ke Marwah, bolak balik, mencari, bisa jadi disana, atau bisa jadi disana, sampai bilangan tujuh kali yang sedang dilakoni reka ulangnya oleh para penunai ibadah haji dalam rukun yang kita kenal sebagai sa’i. Seperti kadang hari hari ini, pesimis ternyata mampu melumpuhkan potensi, maka, jika memandang realitas di hadapan ternyata mengecilkan hati dan terbangun potensi pesimis tadi, lupakan. Anggap saja realitas itu tetap ada, tapi kita punya mimpi. Ya seperti bunda hajar yang memandang realitas tak ada air, tapi tetap yakin akan ada kucuran entah dari mana, maka, mimpinya menggerakkannya, mengoptimiskannya.

Pengorbanan. Seperti juga mendengar lafadz talbiyah itu memanggil manggil, begitu lekat ke telinga, begitu dekat. Dan panggilan itu akan memilih, dengan ragam keajaiban keajaiban yang dihadirkan. Buktinya di RCTI ada cerita tukang bubur naik haji (?).

Pengorbanan. pada level rendah adalah kemaupan pengorbanan menuliskan cita cita. Suatu waktu, akan tersembelihlah hewan hadyu atas nama kita. Bukan sekedar atas nama, tapi pengorbanan yang sesungguhnya. Seperti ketika menyembelihnya, kerelaan berkorban adalah menyembelih segala potensi laku hidup manusia, kemudian mengalirkan darah merah potensi buruk, mengalirkan ke bumi, dan memendamnya, selama lamanya. Dan suatu waktu, panggilan yang sudah samar samar terdengar akan kita penuhi segera. Benar benar menghayati, rekaman jejak para anbiya’ pencipta momentum Iedul Adha. Menatap bangunan dan mengitarinya, meresapkan makna pengorbanan bapak anak yang begitu mulia, wukuf di hamparan padang arafahNya bersama sekian jiwa yang lapang maupun yang kepayahan, bertahallul memotong rambut, dan tentu, menjiwai lakon Bunda Hajar membawa lari kakinya yang kepayahan bertujuh kali bolak balik, hingga kemudian minum air yang kala itu terpancar dari kaki Sang Ismail kala masih bayi usianya.

Pengorbanan. adalah ketidakfokusan dengan realitas yang melemahkan tekad. Karena kefokusan pada kelemahan, dia akan terus melemahkan kita. Tapi pengorbanan untuk menatap kekuatan, maka dialah yang akan terus menguatkan kita.

Pengorbanan, suatu waktu. Dan memenuhi panggilan, meskipun saat ini serupa cita, tapi cita itu telah tertanggal, suatu waktu akan terlaksana, dengan segenap kekuatan yang menguatkan, dengan izinNya, Insha Alloh.

Multazam 7
26 Oktober 2012 :: 22.35     

Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU