Meramu Fakta (untuk mereka yang Sekandung)
Masih
dingin dan asing, ucapan pendek pendek, dan singkat secukupnya. Sapaan di
sosial media, sama. Ya, ya. Kita memang hampir sama dalam semua, lebih lebih
dalam kebiasaan sehari hari seperti kali ini.
12
tahun, dalam usia yang masih sangat kanak kanak, semenjak lahir, yang kita
hanya berselisih 19 bulan, hidup dalam asuhan yang sama tapi menyisakan
karakter yang begitu berbeda. Selepas itu, 9 tahun lebih sampai sekarang,
bertemu hanya pada momentum tertentu, lagi lagi, dalam suasana yang sama,
dingin, asing, dan bahkan lupa kalau diantara berdua adalah kakak dan adiknya,
karna memang pautan usia, membiasakan cukup hanya memanggil nama.
Prolog yang agak ‘melankonis’, susah ngilanginnya ternyata J
Oke. Ini cerita tentang kakak
kandung saya, laki laki, namanya agak panjang, sepanjang rambutnya yang
dibiarkan gondrong meskipun berkali kali dikasih uang sang bosnya untuk
memangkas segera. Bukan aktivis dakwah, bukan aktivis sosial, bukan aktivis
politis, hanya laki laki biasa yang masih lajang dan bekerja untuk hidupnya
sendiri dan sebagian disisihkan untuk keluarga dan adik adiknya.
Dingin dan asing, bahkan kalo
bicara, tak jarang matanya nanar kemana, meskipun lawan bicara mencoba
menemukan mata rantai jalinan emosi yang sama dengan berusaha menemukan matanya
yang nyalang.
Dia, jikapun fasilitas ada dan
dia meraihnya, mungkin dia sudah kuliah semester 9, atau bulan bulan ini
berselempangkan toga, dia jauh, sangat jauh lebih mumpuni secara intelegensia
dibandingkan saya yang sedikit beruntung mengenal bangku kampus. Kemampuan
berbahasa asing, kepiawaiannya meramu kata dan tulisan tulisan, bahkan lebih
jauh dibandingkan beberapa orang yang saya kenal di bangku perkuliahan. Tapi
bahkan, keinginan untuk masuk pun sampai sekarang tak mau dilakukannya. Baik.
Dan saya tak bisa maksa. Dia telah menganggap cukup, ijazah SMP dan paket C
hasil paksaan orang yang sampai sekarang tak pernah diambil ijazahnya.
Sekitar tahun lalu, buku yang
ditulisnya diterbitkan Elex Media Komputindo, dan panggilan kerja ke kota
kembang dipenuhinya, freelancer, passionnya di perkomputeran berlanjut, sampai
sekarang masih bertahan, walaupun katanya, akhir Januari dia akan kembali, ngk
tau, masih akan dengan kerjaannya yang kemudian bisa dikerjakan di rumah, atau,
akan mencari jalan pencarian uang yang baru. Tetap saja dia tak berubah. Selalu
anti kemapanan, atau lebih tepatnya, bosanan, pada satu hal yang rutin, sama
kayak adik-adiknya.
Kadang
pun, sampai sekarang bahkan masih terlalu sulit memahami, apa yang dimaui.
Karena banyak hal hal yang terjadi, yang tak terduga duga, menjauhkan, dan
akhirnya menjadikan kita saling asing, padahal, kita sekandung.
Haghaghag.
Seharusnya bisa tertebak sih, karakter sang dia seperti apa. Bahasa bahasa tulisannya,
cara cara dia dingin dalam keterasingan, ketakpernahan menjalin komunikasi baik
via sms, telpon maupun sekedar say hello di message fb, sudah cukup bisa
menjelaskan, dia adalah seperti apa dan aku adalah seperti apa, dan jawabannya,
yang sekandung tak beda beda jauhlah sifatnya.
Dari
sini sepertinya ada yang salah. Jangan jangan, harus ada yangbersedia membeda ?
seperti karakter satu kandungan kita yang satu ini.
Santai
dan keras. Tak mau mendengar apa kata orang kalau sudah merasa dirinya benar.
Hampir tak ada kata ngk enak, meskipun usulannya, masukannya dan keputusannya
nekad dan tak real. Menjadi warna yang berbeda, membedakan agar rumah menjadi
cukup berwarna dan gelak tawa terdengar ketika dirumah ada dia.
Di
setiap beda dan persamaan persamaan yang ada, tersaji fakta bahwa kita
sekandung. Baik. Disini semuanya menjadi menarik, karena dua orang tua kita
telah menua. Mulai harus ada omongan omongan serius (apa omongan kita slama ini
selalu basa basi ya –a ?). Tapi tak mengapa, tak perlu ada yang harus dipaksa
disini, aku menghormati, pilihan pilihan ke depan begitu banyak tertawarkan,
sebagaimana sejak dulu bapak kita tak pernah memaksa segala pilihan pilihan
yang ada di depan untuk kita ambil dan kita penuhi. Kita sama sama meyakini,
bahwa kita punya Alloh yang Maha segala Maha, dengan keragaman kita, masih
punya satu kesamaan yang tak bisa untuk disembunyikan. Dalam setiap rantas,
kita punya Alloh. Dalam dingin sikap, dalam keterasingan, dalam segala beda
pilihan, kita punya Alloh. Cukup itu, maka yang lain menjadi persoalan yang
kecil saja.
Untuk mereka yang sekandung, kalian nomor satu, selalu,
meskipun jangan jangan, aku membuat kenomorsatu-an kalian kadang tergeserkan.
Tapi penilaian manusia, jauh acapkali keliru.
Belajar menjadi besar, dengan selalu bertekad untuk memberi,
aku banyak belajar dari kalian.
Belajar menjadi baik, untuk tetap jadi kerikil bersih
meskipun sekitarannya adalah benaman lumpur, aku juga banyak belajar dari
kalian.
Belajar menjadi kuat dan hebat, melawan keterbatasan, meski
sedikit kemungkinan (haghaghag itu mah lagunya Ipang) itu juga karena Alloh
memberikan guru guru terbaik, seperti kalian.
Baik. Itu lebih dari cukup.
Kenangan simpang Dago
Multazam 7
21 Oktober :: 19.59
Comments
Post a Comment