Idealisme (?)
Ada masa kita akan bicara idealisme. Ada masa kita
membenturkannya dengan kondisi yang nyata jelas dihadapan mata kita untuk
ditelisik lagi apa sebenarnya “idealisme”. Lalu kemudian ada jembatan
penyeberangan antara idealisme dengan realita yang menyuruk kita pada
pragmatisme.
Ini bukan tentang idealisme kami yang tertera di tulisan
Imam HasanAl Banna di risalah dakwatuna. Kalo soal itu insy Alloh kita semua
menyepakati, dengan sepenuh hati, bahwa kita telah membulatkan tekad mencintai
negeri dan orang-orang lain, lebih daripada mencintai diri kita sendiri. Kita telah
menyepakati bahwa kita akan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata dan
seterus seterusnya.
Kali ini saya bicara tentang idealisme yang “biasa-biasa saja”
Beberapa waktu lalu, kakak saya memamerkan pekerjaannya
sebagai “koder” alias tukang kode, yang biasa ng-coding dan segala macamnya. Ya.
kakak saya memang kerja sebagai front-end developer secara otodidak. Kini, dengan
jam kerja sehari 6 jam di depan laptop dia bisa mengantongi uang gaji. Terserah
pekerjaan mau dikerjakan dimana. Di kamar, di gunung, di laut atau di kebun
rawa-rawa, yang penting nyalain skype, nunjukin bahwa dia 6 jam di depan laptop
ngerjain project pesanan. Atau bahkan tanpa itupun ngk jadi soal, asalkan pada jam yang disepakati kerjakan sudah tertunaikan.
Debut karirnya dimulai dari dulu pas dia jadi tukang jaga
warnet. Dia jaga warnet, sambil semi desperate karna putus sekolah dia belajar
tentang PHP, MQSyl, dan segala rupanya yang saya tak paham. Sampai akhirnya
dapat kenalan orang IT juga, diajak kolaborasi nulis buku, buku-buku petunjuk
webdesign begitulah. Dan kemudian malang melintang di dunia freelancer. Webdesign
freelance maupun writer freelance. Hm. karna passionnya disitu kali ya, dunia
serasa damai baginya kalo sudah ngadep di depan leptop, leptop bonusan pula
(!).
Well lupakan soal kakak saya. Hanya beberapa masa silam
beliau memang sering menganjurkan saya mengikuti jejaknya. Kerja ala dia, di
depan laptop dan hanya butuh jaringan internet. Ngk usah wara-wiri privat, ngk
perlu naik turun angkat-angkat jilbab dagangan.
Saya iseng-iseng lihat-lihat lowongan nulis freelance. Bayaran
10ribu sampai sekian dolar ada.
Lalu saya cek tulisan saya di folder yang isinya
tulisan-tulisan untitled yang sebagian ada di blog ini. Tulisan yang masih
berkutat pada kedirian, alias masih berupa pelajaran-pelajaran pribadi dengan
sudut pandang dengan sangat subjektip. Mungkin sebagian entah saya sadar
ataupun tidak tulisan saya dibaca orang, mungkin memberikan efek dan pelajaran
bagi orang lain, saya sangat-sangat berharap bisa menggerakkan, tapi di atas semua itu,
bisa menulis saja bagi saya sudah kebahagiaan :). Setelah saya lihat-lihat, saya
bandingkan dengan kriteria tulisan-tulisan yang bertebaran di lowongan
freelance. Hasilnya? Jauh mblo dari kriteria, hahaha.
Terlepas dari kriteria-kriteria tulisan, secara pribadi saya
masih bergulat dan mengajak berdamai pada diri sendiri. Pada bagian mana
sesungguhnya letak idealisme menulis dengan pesanan pasar, pesanan pembaca
masyarakat luas (gaya saya kayak sudah pernah nulis aja ya). Bagaimana tulisan bernurani, dengan
tulisan-tulisan yang “menghasilkan uang”.
Mungkin secara luas bukan hanya masalah tulisan dan dunia
freelance writer saja, tapi ketika nanti sudah dihadapkan pada masa-masa
mencari kerja. Kita akan dihadapkan pada dunia yang bisa jadi sangat berbeda
dengan idealita yang kita kenal hari ini. Bisa jadi akan disodorkan dengan
pilihan-pilihan pragmatis, bisa jadi dihadapkan dengan persimpangan antara ya
dan tidak, boleh atau ngk. Ah membingungkan sekali bahasa saya.
Atau memang sejatinya dalam kehidupan ini tidak pernah ada
hal yang ideal sama sekali? Selalu membutuhkan ruang-ruang kompromi? Selalu menyisir
jalan untuk mau-tidak mau kita harus pragmatis? Karna kita hidup berdampingan
dengan orang lain? Kita hidup dengan pola “ideal” yang mungkin di kepala orang
berbeda dengan versi yang bersemayam di otak kita?
Mungkin memang begitu. Ya. mungkin memang begitu. Ah anggap
saja saya sedang meyakin-yakinkan diri.
Teriring “Dream”-nya Kitaro
Muntilan, 18 Mei 2014
22 : 14
Comments
Post a Comment