(semacam) tips ngebis

Akhirnya saya akan menulis hari-hari saya dengan rutinitas sore : Ngebis. Pake Ramayana/ Mustika/ CemaraTunggal/ Gading Indah. Dua yang tersebut diawal adalah bis jurusan Yogya-Semarang, seat-nya 3-2, kecepatannya lumayan, membuat saya bersyukur sedari dulu pake sepatu kets. Kenapa? Karena kalo nunggu bis dan tiba-tiba dari tikungan sudah muncul, saya mesti lari-lari ngejar demi 3-5 detik (dramatisasi wkwk) bis ini berhenti hanya untuk memasukkan penumpang berukuran kecil macam saya (bahasanya, wkwk). 2 yang terakhir jurusan Yogya Magelang. Seat 2-2. Secara kecepatan lebih lamban dibanding yang Semarangan.

Lalu dengan waktu 20-40 menit, tanpa ada kemacetan seperti perbaikan jalan di daerah Salam, tiba-tiba saya sudah nyampe jembatan layang baru yang ngk selesai-selesai dan sang kondektur akan teriak "Jombor turun-Jombor turun".

Oke. Marilah dengan penuh rasa bahagia saya bagikan tips dalam ngebis secorak Bis Muntilan – Jombor. Ya. Betul sekali, bis yang membuat kita membuka matahati dan matajiwa, meningkatkan rasa syukur kita sekian digit di atas rata-rata atas nikmat berlimpah yang kita punya. Sekaligus juga melupakan kekecewaan kita atas patah hati karena keputusan yang diambil pada koalisi nanti. Bukan bis berAC, atau berTV di atas pak sopir. Bukan. Ini bis biasa yang serupa kelas belajar bagi saya :D.

  •   kostum

Pastikan tidak ada yang salah dengan kostum anda dalam berkendara bis. Jangan kebanyakan perhiasan, bawaan, atau harta karun semacam uang organisasi atau uang titipan orang jualan. Kalaupun terpaksa bawa, simpan baik-baik di tempat yang aman. Ingat, bis adalah tempat beragam manusia berada, kadang pencopet berkonspirasi dengan supir juga kondekturnya. Ini bukan soal su’udzon atau apa, ini fakta di beberapa temuan yang akhirnya hanya ada satu sikap yang harus kita punya : waspada.

Mengingat tadi saya sebut di awal, kecepatan bis semacam yang sering saya naiki di atas, adalah semi ugal-ugalan. Membuat kita harus siap lompat tangga dan turun tangga dengan hati-hati dan seksama. Karnanya, kalo anda perempuan berjilbab macam saya, pakailah rok yang longgar, dan jangan kenakan sepatu berhak tinggi. Mending pake sepatu karet atau kets. Model Crocs? Boleh sih, tapi kalo saya ngk nyaman :D.
  •     Self Protection

Tadi sudah sempat nyinggung self-protection dengan tidak bawa perhiasan dan uang yang berlebihan. Nah yang saya maksud di poin kedua ini adalah soal interaksi, ramah tamah, dan juga SKSD yang bisa kita terapkan dalam bis.

Begini. Saat masuk bis, maka yang pertama saya nyalakan adalah radar pembelajar (#tsaah). Artinya, bagaimana setiap detik hidup kita di alam raya ini adalah tentang pembelajaran. Di bis, ada banyak orang yang akan mengajari kita berupa-rupa pelajaran yang berbeda. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berbahaya, yang sok kenal, sampai maksa minta nomer HP ngajak kenalan “Sebatas teman biasa saja kok Mbak,”. Trust me, ini ada. Pagi tadi saya mengalaminya.

Nah, kita harus gimana?
Proporsional. Jangan yang kaku banget, tapi jangan yang ramah-ramah kebablasan. 

Kalo ketemu dengan mbak-mbak seumuran, ya ngobrol aja ala orang kuliahan, tanya kuliah dimana dsb dst, turun dimana sebagai pertanyaan standar, sampai nanti ngobrol masalah cita-cita.

Ketemu sama mas-mas gondrong tato banyak dan masih megang rokok nyala? Don’t judge a book by its cover. Ada kala mereka ramah, ngobrol ringan soal pekerjaan, kadang cerita hidup keseharian.

Ketemu simbah-simbah dagang pasar? Posisikan beliau sebagai orang yang berpengalaman. Minta nasehat, kalo perlu minta do’a kuliah dilancarkan.

Itu kalo ketemu yang baik-baik.

Kalo ketemu yang kita kira baik dan ternyata aneh-aneh dan menyeramkan?

Tadi pagi (kakak saya yang kalo pagi saya tebengi pas libur kerja, jadi saya berangkat ngebis), tiba-tiba ada laki-laki usia 30-an sudah duduk di samping saya, awalnya nanya mau turun mana. Karena gelagat awalnya biasa, saya jawab juga biasa. Tanya kuliah dimana saya jawab biasa. Eh lama-lama dia ngluarin BB, trus lihat saya yang lagi buka WattPad (itu lho aplikasi yang situs pertemanan tapi isinya koleksi buku), si orang ini langsung nanya saya pakai nomer apa. Eh waktu di jawab ngelunjak minta nomer. Wah, mulai ngk bener ini orang. Walhasil, saya tutup WattPad, saya ganti Qur’an. Ngaji deh saya, dan orang ini masih saja manggil-manggil. (Astaghfirulloh... giliran gini baru ingat Qur’an jadi senjata ampuh TT). Sampai akhirnya jembatan layang Jombor bisnya berhenti, saya turun, dan orang aneh ini masih sempatnya bilang hati-hati mbak (Ya Kariiiim, ada dosa apa saya TT).

Begitulah.

Selain perkara interaksi, senjata pertahanan harus disiapkan. Mari kita belajar perlindungan diri pake tangan dan kaki, demi hidup yang lebih baik, di kala bahaya sewaktu-waktu mengancam. Senjata sederhana, entah cutter, atau minimal jarum pentul kita selalu ada. Lagi-lagi bukan masalah parno, tapi soal waspada.
Begitulah ya soal perlindungan.

  •          Radar Pembelajar

Tadi sudah saya tuliskan, yang perlu dilakukan ketika masuk bis (atau sebenarnya dimanapun) adalah menyalakan radar pembelajaran. Karena sejatinya setiap ruang adalah kelas kehidupan, dari guru siapapun, dari alat eksperimen apapun.

Dari penjual jeruk tiap sore di Mustika yang bagi-bagi jeruk seplastik 7000, saya belajar arti ketulusan dan kerja keras. Bayangkan, setiap deret seat penumpang dibagikan satu-satu jeruk (3 seat yang jejeran dapat satu maksudnya), sebagai alat icip (?), silakan dimakan. Kan biasanya kalo ada barang yang dibagikan gitu kalo dimakan berarti dibeli, ini ngk, dimakan ya bener-bener dipake sebagai alat icip, dan kalo ada yang tertarik, bisa beli. Ditawarkan awalnya 10ribu isi 7 buah, kalo baru sedikit orang yang beli, nanti nambah lagi, 10ribu isi 8, belum habis, akan bertambah terus. Dan jangan curiga yang aneh-aneh, takut jeruk diracun atau apa, ini jeruk ya seperti jeruk umumnya, enak, dan yang mengatakan enak tidak hanya satu dua orang, tapi banyak dan bapaknya yang jualan juga tetep istiqomah jualan. #ahsudahlah, kebaikan macam apa yang ada di  hati bapaknya itu.

Begitulah. Darinya saya belajar banyak. Bahwa kebahagiaan itu tercipta dari memberi, adalah benar adanya.

Dari pengamen yang suaranya lumayan, saya belajar mengenal lagu-lagu kehidupan. Dari mulai lagu “sing ora maringi, tak dongakke lemu, koyo sapiku” (Yang ngk ngasih (uang) saya do’akan gemuk, seperti sapi saya)” sampai lagu-lagu Bengawan Solo yang dinyanyikan apik mendayu-dayu. Saya belajar dari mereka untuk mengemas nasib menjadi bahan tertawaan yang bukan untuk diratapi dan justru menjadikan mereka begitu percaya diri. Bicara pengamen, beberapa lagu yang (cukup) bagus (?) pertama kali saya kenal juga dari pengamen. Lagu “Separuh Aku”nya Noah, “Andaikan kau datang kembali”nya Ruth Sahanaya sama “Simponi yang Indah”nya Once Mekel adalah 3 diantaranya yang cukup membekas.

Dari anak-anak kecil usia SD atau kadang mbak-mbak usia muda yang membagikan amplop kosong untuk diisi sumbangan, saya belajar arti bersyukur. Tidak banyak orang yang sempurna fisiknya sempurna pula pikir dan hatinya bahwa meminta-minta dalam porsi tubuh yang masih sehat bugar adalah hina. Saya tidak sedang memandang sebelah mata, tapi melihat badan yang sehat, dengan beberapa perhiasan yang kadang melekat, saya merasa ada yang hilang dengan wibawa mereka. Tidak tahu. Saya tidak tahu. Ini karena apa oleh sebab apa, tapi dari mereka yang demikian saya lagi-lagi belajar bersyukur dan bersyukur, bahwa mata hati yang hidup adalah karunia yang tak terkira-kira mahalnya.

Dari anak-anak kecil yang dekil (ini lebih sering saya temui bukan di bis Jogja-Semarangan, tapi Jombor-Maguwo), saya lebih banyak mendapati mereka dengan cara saya yang sok kenal. Saya ajak ngobrol tinggal dimana kegiatannya apa, ada yang masih sekolah lah, ada yang tinggal di Code asal dari tempat yang jauh, dengan bahasa khas jejalanan yang kadang-kadang keluar nama-nama hewan kebun binatang. Dari mereka saya belajar “hidup”. Menatap harap dan asa membentang.

Begitulah. Mereka-mereka adalah guru-guru diam yang tanpa sadar saya menjadi murid yang berguru pada mereka tanpa bayar.

Jalanan memang panggung serba ada yang membelajarkan. Dia adalah representasi kondisi negeri hari ini. saya beruntung menjadi bagiannya, mendekatinya, menyatu dengannya. 

Bagaimanalah kabar hasil pileg kemarin, bagaimanalah nanti bacaan koalisi, bagaimanalah nanti nasib negeri ini, pada akhirnya, kepada orang-orang yang kutemui hari-hari inilah, saya temukan banyak korelasi.



Muntilan 17 Mei 2014
20:05
*terisnpirasi dari kejadian rada mencekam tadi pagi.



Comments

Popular posts from this blog

Bunga Bunga Kamboja : Semua akan Berakhir pada Akhirnya

Memilih, Mengharuskan, dan Memilih Keharusan

HARI INI TUJUH TAHUN YANG LALU